Geramnya Masyarakat Papua ke MA karena Hapus Pajak Air Freeport Rp 3,9 Triliun

Geramnya Masyarakat Papua ke MA karena Hapus Pajak Air Freeport Rp 3,9 Triliun

JAYAPURA, RIAUREVIEW.COM -Masyarakat Papua tidak bisa menyembunyikan kegeramannya ke Mahkamah Agung (MA). Sebab, MA membalik putusan sebelumnya dan menghapus pajak air yang harus ditanggung Freeport sebesar Rp 3,9 triliun.

Kegeraman Papua tercermin dari penyataan anggota Komisi I DPR Papua, Yohannes Nussy. Menurut Nussy, secara politik pihak DPR Papua akan menemui Presiden Joko Widodo untuk mencari solusi atas Putusan MA itu. Nussy mengatakan, Papua selalu dibenturkan dengan UU nasional sehingga UU Otsus Papua seolah-olah tidak ada. 

"Ada dua kaki yang mengeksekusi pelayanan publik di Papua. Saya curiga ada orang-orang di Jakarta yang ingin menghancurkan Papua dan stabilitas nasional dengan menggunakan interplasi regulasi nasional," kata Nussy, Senin (23/4/2018) malam.

Di kasus tersebut, Gubernur Papua melakukan gugatan atas pajak air tanah yang digunakan Freeport. Tapi MA yang mempertentangkan dengan UU Minerba, sehingga tidak bisa menggakomodasi UU Otsus terkait hak ulayat orang Papua. Padahal pasal 18a UUD 1945 mengakui tentang hak-hak daerah.

"Atas dasar itu, kami akan mendorong Pemerintah Provinsi Papua untuk terus melakukan banding sampai pada tingkat paling tinggi, bila perlu ke tingkat internasional," cetus Nussy.

Seperti diketahui, MA menghapus pajak air yang ditanggung Freeport sebesar Rp 3.958.500.000.000. MA beralasan Freeport dan pemerintah RI terikat perjanjian kontrak karya yang berlaku khusus bagi kedua belah pihak. Jadi pajak air yang diterapkan Pemprov Papua tak berlaku.

"Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.79871/PP/M.XVB/24/2017 tanggal 18 Januari 2017," demikian lansir putusan MA sebagaimana dikutip detikcom dari website-nya, Jumat (20/4) lalu.

Ada empat alasan MA memenangkan Freeport. Berikut alasannya:

1. Terkait doktrin hukum kontrak bahwa kontrak karya antara Freeport dengan Pemerintah RI, yang telah disetujui oleh Pemerintah RI setelah mendapat rekomendasi DPR dan departemen terkait, mengikat dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, sesuai pula dengan surat dari Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 Desember 1998, bersifat khusus yaitu lex spesialis derigat lex generalis dan berlaku sebagai UU bagi pembuatnya. (Vide pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata).

2. Sifat kekhususan memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum sama tanpa ada pembedaan perlakuan dalam pelayanan hukum.

3. Perikatan atau perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata).

4. Bahwa perkara a quo pada dasarnya merupakan kebijakan fiskal yang merupakan otoritas pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Keuangan sebagai mandatory). Hal ini secara historis dapat dibaca dalam Penjelasan UU PRDR (vide UU Nomor 18/1997 ho UU Nomor 34/2000), yang menyatakan: kebijakan perpajakan antara pemerintah pudat dan pemerintah daerah pada hakikatnya merupakan sistem dan bagian dari suatu kebijakan fiskal nasioanal dan oleh karenanya terbanding (sekarang termohon peninjauan kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33A ayat 4 UU Pajak Penghasilan jo Penjelasan Pasal 13 UU Nomor 24/2000 tentang Perjanjian Internasional artikel 27 Vienna Convention, jo Pasal 13 Kontrak Karya, jo Surat Menteri Keuangan Nomor S-604/MK.017/1998. 

Sumber: news.detik.com

Berita Lainnya

Index