SKGR/SPGR adalah Surat Beziter Bukan Surat Desa dan Bukan Produk Pemerintahan Desa

SKGR/SPGR adalah Surat Beziter Bukan Surat Desa dan Bukan Produk Pemerintahan Desa
Masrory Yunas, SE, SH, MH.

Lazimnya  dalam masyarakat kita, telah mengenal SKGR, SPGR, SPGK, SKT dan berbagai penyebutan lainnya, dianggap merupakan sebagai surat desa, yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintahan desa atau kepala desa, yang dianggap berfungsi sebagai alas hak atas kepemilikan sebidang tanah.

Bahkan kebanyakan masyarakat menyebutnya dengan surat tanah yang menunjukkan bahwa seseorang yang namanya tercantum dalam surat tersebut adalah pemilik yang sah/berhak dari sebidang tanah.

Diyakini, dengan terbitnya surat desa atau surat tanah itu, maka menimbulkan hak kepemilikan oleh seseorang terhadap sebidang tanah. Bahkan sebagian besar masyarakat maupun pemerintahan desa, meyakini bahwa penerbitan surat-surat tersebut adalah kewenangan pemerintah desa atau kepala desa.

Hal yang tak banyak diketahui oleh masyarakat bahkan pemerintahan desa bahwa, sejak tanggal 22 Mei 1984 Menteri Dalam Negeri melalui SE Mendagri Nomor 593/5707.Sj. tahun 1984, telah mencabut Permendagri No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah seperti yang tercantum pada Pasal 11 Permendagri tersebut, serta mencabut wewenang Kepala Kecamatan untuk memberikan ijin membuka tanah. (Endang Sri Wahyuni, penyalahgunaan wewenang oleh lurah dalam membuat Surat Keterangan Tanah yang berfungsi sebagai alas hak atas tanah berdasarkan SE Mendagri Nomor 593/5707.Sj. tahun 1984, Jurnal Pasca Sarjana Kenotariatan USU, 2015).

Secara hukum, hanya ada 1 (satu) kewenangan Kepala Desa atau Lurah dalam hal pertanahan, yaitu menerbitkan dan atau membuat Surat Keterangan Kepala Desa atau Kelurahan yang berisi dan menyatakan bahwa seseorang telah menguasai sebidang tanah berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah tersebut, selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut (Pasal 24 ayat (2) Juncto Pasal 39 ayat (1) huruf b angka 1, PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Inilah hak Hukum kepala desa atau lurah dalam bidang pertanahan yang tak bisa diganggu gugat. Apabila dikemudian hari kepala desa atau lurah terbukti telah menyalahgunakan kewenangannya, tentu saja hukum tetap berlaku.

Lalu pertanyaannya, yang dimaksud dengan surat desa atau surat lurah selama ini, sebenarnya adalah Surat apa? atau Surat siapa? baik SKGR. SPGR, SPGK, SKT dan berbagai penyebutan lainnya.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, kita mengenal yang namanya bezit yang penjabarannya ada pada BAB II, yang dimulai dari Bagian 1 sampai dengan Bagian 3.

Yang dimaksud dengan bezit (er) adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada siapa (Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,hal. 63).

Menurut Hukum Perdata Belanda Pasal 585, yang dimaksud dengan bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda yang dikuasai seseorang baik atas upaya sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah benda itu adalah miliknya sendiri (Ny. Frieda Husni Hasbullah, S.H., M.H., Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, hal. 66).

Seorang beziter menguasai suatu benda dan memperlakukan benda itu seolah-olah dirinyalah sebagai pemilik benda tersebut. Dalam pertanahan, dapat diartikan bahwa, beziter adalah seorang yang menguasai fisik suatu bidang tanah, yang mana sebidang tanah tersebut dikelolanya seakan-akan dirinyalah sebagai pemilik. Dalam bidang pertanahan seseorang yang menguasai fisik sebidang tanah disebut sebagai penguasa atau beziter, bukan pemilik.

Untuk memperoleh status sebagai pemilik terhadap sebidang tanah, haruslah berdasarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik yang dikeluarkan oleh pejabat negara yang berwenang.

Dalam hal ini pihak yang berhak untuk memberikan Keputusan terhadap hak kepemilikan dalam bidang pertanahan hanyalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Apabila tanah tersebut telah didaftarkan di BPN dan telah terbit Surat Keputusan Pemberian Hak Milik kepada seseorang, maka sah secara hukum seseorang itu dapat dikatakan sebagai seorang pemilik yang sah secara hukum dan Bukti Haknya adalah Sertifikat Tanah dari BPN.

Wajarnya, sertifikat tanah dari BPN inilah yang dapat disebut dengan surat tanah yang sebenarnya. Dapat disimpulkan bahwa tanah yang belum didaftarkan di BPN, belum memiliki status hak milik atau pemilik kepada penguasanya, melainkan berstatus sebagai beziter.

Beziter atau seorang yang telah menguasai sebidang tanah yang belum didaftarkan di BPN tetap bisa menguasai dan mengolah tanah tersebut. Bahkan menjualnya.

Seorang beziter untuk dapat menjual tanah yang belum terdaftar tentulah memerlukan suatu surat, yang dapat membuktikan bahwa memang dirinyalah yang menguasai atau memiliki tanah tersebut, sehingga pembeli tidak merasa ragu-ragu terhadap kemungkinan adanya sengketa tanah.

Surat yang dimiliki beziter inilah yang lazim disebut dengan Surat Desa, Surat Lurah, Surat Tanah. Penyebutan yang benar seharusnya adalah SURAT BEZITER.

Jika dilihat dari isi, surat beziter biasanya berbunyi pernyataan-pernyataan dari beziter mengenai dirinyalah yang menguasai fisik sebidang tanah tersebut dan diolah untuk kepentingan tertentu, lalu adanya pengakuan-pengakuan Sempadan tanah yang terkait dengan pernyataan-pernyataan beziter tersebut, yang mana pengakuan-pengakuan dan pernyataan-pernyataan tersebut dibuktikan dengan adanya tandatangan dari masing-masing pihak. Selain dari pernyataan-pernyataan dan pengakuan-pengakuan itu, pada akhir surat biasanya juga diketahui dan ditandatangani oleh aparatur pemerintahan desa atau kelurahan, seperti RT, RW, Kadus, Kades atau lurah setempat.

Kepala desa atau lurah berkedudukan sebagai pejabat tertinggi yang mengetahui bahwa ada anggota masyarakatnya yang menguasai fisik sebidang tanah dan melakukan peralihan atas tanah-tanah yang dikuasainya. Kepala Desa atau lurah dengan itikat baik melakukan pencatatan pada buku register tersendiri yang telah disediakan. Hal ini dilakukan oleh kepala desa / lurah sebagai upaya membantu kepentingan masyarakat dalam hal tertib administrasi dan pencatatan agar tidak terjadi sengketa atau perselisihan ditengah masyarakatnya.

Sebenarnya tidak ada Kewajiban bagi kepala desa atau lurah untuk melakukan pencatatan admisitrasi dan meregistrasi dalam bidang pertanahan, karena memang Kewenangan dan fungsinya bukanlah dalam bidang pertanahan, hanya saja pada akhirnya sudah menjadi hukum kebiasaan bagi kepala desa atau lurah untuk melakukan pencatatan registrasi tersebut. Negara telah menyediakan BPN sebagai satu-satunya lembaga yang berhak dan berwenang dalam mengurusi pertanahan di Indonesia, beserta dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat atau ditunjuk oleh Negara.(*)

Penulis : Masrory Yunas, S.E, S.H, M.H – Advokat
(Alumni Universitas Lancang Kuning (UNILAK)-Pekanbaru)

Berita Lainnya

Index