Dalam jamuan makan malam, sambil menikmati secangkir kopi dengan beberapa teman sejawat dosen yang sudah lama tak bersua, kami pun larut berbagi cerita tentang berbagi pengalaman yang berbeda di Perguruan Tinggi (PT) masing-masing dimana tempat kami mengabdi. Perbincangan kami, mengalir dengan suasana santai. Ceritanya satu titik yang sama, sampai dimana perjalanan dan aktivitas sebagai orang kampus yang sudah sekian lama dilakoni. Dari diskusi itu, satu isu yang menarik buat saya adalah terkait dengan pemberdayaan dosen di PT. Sehingga ketika kami berpisah dari pertemuan itu, saya menarasikan diskusi itu dalam sebuah tulisan yang hadir di sidang pembaca hari ini.
Sebagai pembuka diskusi, sejawat saya yang mumpuni di bidang manajemen organisasi, menjelaskan bahwa pemberdayaan itu menjadi pintu keberhasilan pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Oleh karenanya pemberdayaan itu menjadi bernilai penting bagi efektivitas sebuah organisasi. Pemberdayaan merupakan sebuah strategi organisasi untuk menginspirasi dan memotivasi para anggota organisasi melakukan sejumlah kontribusi yang memberikan manfaat bagi organisasi, di mana kontribusi tersebut diharapkan akan diganjar dengan pengakuan, apresiasi, dan nilai oleh pimpinan organisasi.
Dalam konteks organisasi di PT, dosen merupakan anggota organisasi yang paling penting untuk diberdayakan secara optimal. Tugas utama dosen adalah tridharma PT (pengajaran, penelitian, dan pengabdian), ditambah dengan tugas-tugas penunjang dan administratif lainnya. Sebagian kecil dosen diamanahkan dengan tugas tambahan, mulai dari rektor, dekan, ketua jurusan, program studi hingga unit-unit akademik yang terdapat dalam struktur organisasi kampus yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa pengoperasian sebuah Universitas, tentunya membutuhkan sejumlah sarana dan teknologi bantuan. Seperti halnya, sistem penerimaan mahasiswa baru, pelaporan akademik, evaluasi dan audit, konsultasi hukum dan kearsipan, sistem informasi manajemen dan akuntansi, sistem administrasi, jaringan internet, pelatihan/pendampingan peningkatan kompetensi, dan lain sebagainya yang sebagai satu kesatuan membentuk rantai operasional Universitas.
Pertanyaannya kemudian “Siapa yang akan menyediakan dan mengoperasikan sarana dan teknologi-teknologi pendukung tersebut?” Idealnya, ketika sebuah universitas memiliki sejumlah program studi yang relevan dengan sarana dan teknologi yang dibutuhkan, maka seharusnya para dosen dari program studi tersebut yang diberdayakan untuk melakukannya. Bukan sebaliknya, pekerjaaan/proyek itu justru diberikan kepada pihak luar dengan berbagai alasan. Misalnya, kompetensi dosen yang tidak memadai, tidak ada dosen yang bersedia, ketidakpercayaan pimpinan akan kemampuan SDM yang tersedia, hingga kepada alasan oportunis, seperti halnya adanya kick back atau komisi dari pihak luar yang diterima pihak tertentu menangani proyek tersebut.
Lalu, saya katakan sedikit bergaya filusuf, bahwa paradigma kampus seharusnya menjadi milik bersama dan dibangun bersama dengan spirit kemandirian untuk berkarya dengan mengoptimalisasikan kemampuan SDM yang ada, harus menjadi poros utama dalam pengembangan kampus dengan memanfaatkan jejaring yang ada. Ketika asumsi yang dibangun masih meragukan kompetensi dosen kita yang lemah. Maka pertanyaannya kembali ke pangkal. Apakah benar dosen yang sudah diterima menjadi pendidik dan peneliti di sebuah universitas ternyata tidak kompeten? Jika pun itu benar, maka hanya ada 2(dua) alasan mengapa itu terjadi. Pertama, proses rekrutmen dosen yang dilakukan tidak semestinya; kedua, proses pembinaan dan pengembangan kompetensi dosen yang tidak berjalan efektif. Atau sebaliknya dipengaruhi suasana atmosfir akademik kampus yang tidak kondusif sehingga melahirkan pragmatisme sikap yang apatis, sehingga membawa pengaruh terhadap kinerja dosen yang tidak bersedia berkontribusi.
Menariknya dari diskusi ngopi-ngopi itu, ada faktor para dosen kompeten menolak untuk membantu, yakni: penghargaan material dan pengakuan. Keluhan bersifat finansial yang sering muncul adalah, “pimpinan mau membayar orang luar mahal, tapi ke dosen sendiri yang kemampuannya setara, atau bahkan lebih baik, justru dibayar murah!” Sebagian dosen lain menyatakan, sebenarnya jika memang kondisi finansial kampus tidak memadai, mereka bersedia membantu. Namun, seringkali bantuan tersebut tidak diapreasiasi dalam bentuk pengakuan, bahkan justru lebih bersifat perintah. Padahal dalam konteks organisasi kolegial seperti perguruan tinggi di mana dosen dan pimpinan adalah mitra setara, figur pimpinan yang dicari oleh para dosen adalah sosok teman, bukan majikan. Bahkan tidak jarang, keberhasilan para dosen kompeten yang membantu tersebut justru diklaim sebagai keberhasilan oknum pimpinan tertentu. Hal-hal seperti inilah yang kerap menjadi kekecewaan sejumlah dosen kompeten sehingga memilih untuk “tiarap” dari radar pimpinan perguruan tinggi; terlebih lagi jika “proyek-proyek” tersebut sesungguhnya lebih bersifat ambisi dan kepentingan pribadi oknum pimpinan daripada untuk kepentingan kampus.
Yang perlu dilakukan adalah kemampuan pimpinan mengidentifikasi dan menginventarisir berbagai kompetensi yang dimiliki oleh para dosennya, kemudian memetakan berbagai potensi tersebut untuk disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan berbagai “proyek” yang akan dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Ketika berbicara “proyek” maka kalkulasinya tentu adalah professional, baik dari sisi kualitas maupun kompensasinya. Adalah wajar jika kompetensi dosen dihargai setara atau setidaknya tidak terlalu rendah—dengan kompensasi yang harus dibayarkan kepada pihak luar dengan kualitas pekerjaan yang sama. Jika pun sebuah proyek belum mampu dilakukan secara mandiri oleh para dosen, setidaknya pimpinan perguruan tinggi perlu menyusun kontrak kerja dengan pihak luar dengan menyertakan pasal terkait transfer teknologi. Dengan begitu, dalam periode waktu tertentu, para dosen internal bisa memiliki kemampuan untuk merancang dan mengoperasikan sendiri teknologi tersebut.
Dalam berbagi pengalaman, rekan sejawat memberikan contohnya dalam sistem informasi akademik dan jaringan internet. Kontrak dengan pihak luar perlu dibatasi waktu dan jika memungkinkan perlu melakukan transfer teknologi kepada universitas yang menjadi kliennya. Dalam hal ini, jika universitas memiliki fakultas ilmu komputer, maka bisa mempersiapkan diri dalam jangka waktu tertentu untuk men-take over proyek tersebut. Contoh lain juga bisa diterapkan dalam sistem kearsipan perguruan tinggi. Aspek ini menjadi sangat krusial, bahkan kerap menjadi salah satu alasan mengapa sebuah program studi gagal mendapatkan akreditasi terbaik karena lemahnya sistem pengarsipan. Dalam konteks ini, jika sebuah universitas memiliki fakultas atau program studi perpustakaan, bisa menjadikan para dosennya sebagai konsultan, tenaga teknis, mentor, maupun operator sistem kearsipan di seluruh fakultas. Dengan modernisasi dan sentralisasi arsip ini maka sangat penting untuk kebutuhan akreditasi, Sejumlah pekerjaan lain juga bisa menjadi contoh pemberdayaan dosen seperti desain bangunan, konstruksi, studi kelayakan, naskah akademik, tenaga ahli , konsultan dan lain sebagainya sesuai dengan program studi yang tersedia pada masing-masing fakultas di Universitas.
Akhir kata, pemberdayaan membutuhkan apreasiasi dari pimpinan, baik secara finansial maupun psikologis berupa pengakuan akan aktualisasi. Jika bukan pimpinan perguruan tinggi yang menghargai kompetensi dan kontribusi para dosennya, lantas siapa lagi?
Surabaya, 3 Juli 2023