Participating Interest 10%, Apa Istimewanya Untuk Riau?

Participating Interest 10%, Apa Istimewanya Untuk Riau?
Rachmad Oky S.SH.,MH/ Dosen Hukum Tata Negara Fak.Hukum Universitas Lancang Kuning

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam rangka HUT RI ke-73 di Gedung Nusantara pada 16 agustus 2018 memang menarik, setidaknnya dalam pidato tersebut Presiden mengklaim telah merebut aset-aset kekayaan alam negara dari tangan asing. Mulai dari Blok Migas Mahakam, Blok Migas Sanga-Sanga, Blok Migas Rokan, dan mayoritas saham Freeport. Presiden juga berujar hal itu terjadi lantaran ketegasan pemerintah dalam menjaga kekayaan alam. Setelah beberapa dekade berada di tangan pihak lain kini Presiden memastikan Sumber Daya Alam (SDA) kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi yang sebesar-besarnya digunakan bagi kemakmuran rakyat.

Pernyataan Presiden terkait Blok Rokan, tentu kita sebagai masyarakat Riau langsung bersinggungan atas pernyataan tersebut dan sudah semestinya kita bertanya “kira-kira apa yang didapatkan Riau ketika Presiden memastikan Sumber Daya Alam (SDA) kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi? Lalu apa istimewanya untuk Riau?”

Kedepan, masyarakat Riau akan menjadi saksi berakhirnya kontrak kerja sama Chevron Pasific Indonesia (CPI) pada tahun 2021 di Blok Rokan dan akan membuka angin segar untuk pengelolaan hulu minyak dan gas (Migas) yang lebih berdaulat dimana Pertamina akan mengelola blok Rokan tersebut dari 2021 hingga 20 tahun kedepan, pernyataan tersebut dikemukakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM)  Ercandra Tahar pada 31 juli 2018 yang lalu di Kementrian ESDM Jakarta.

Pengelolaan sektor hulu migas oleh Pertamina seakan-akan memberi citra bahwa adanya keberpihakan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan meyakinkan masyarakat bahwa cabang-cabang produksi yang penting telah kembali dipangkuan negara, kepercayaan pemerintah terhadap BUMN juga seakan-akan memberikan dampak keuntungan tersendiri bagi Riau sebagai daerah penghasil dimana dalam pegelolaan migas, Pertamina wajib menawarkan Participating Inters (PI) 10% kepada daerah. Pengenaan PI 10% berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest.

Adanya ketentuan PI 10% seakan-akan menjadi kebijakan "primadona" di Provinsi Riau, Jika ada yang beranggapan bahwa kebijakan PI 10% adalah sesuatu yang istimewa maka kebijakan tersebut sebernarnaya sudah ada pada tahun 2004 melalui PP No.35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pada pasal 34 PP tersebut menyatakan "Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dari suatu Wilayah Kerja, Kontraktor wajib menawarkan PI 10% kepada Badan Usaha Milik Daerah". Dengan begitu, tidak ada sesuatu yang baru disini, hanya saja mengapa ketegasan PI 10% baru dimunculkan dengan menerbitkan Permen ESDM No. 37/2016?apakah dalam bentang waktu semenjak diundangkannya PP No.35/2004 pemerintah pusat lupa pada daerah penghasil migas?

Pelaksanaan penawaran PI 10% kepada daerah harus menggunakan instrumen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang seluruh kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah atau sisa kepemilikan sahamnya terafiliasi seluruhnya dengan pemerintah daerah yang statusnya disahkan melalui peraturan daerah. Penerapan PI dalam praktik sebenarnya sudah dilakukan oleh Badan Operasi Bersama PT Bumi Siak Pusako-Pertamina Hulu (BOB PT BSP-Pertamina Hulu) yang menandatangani perjanjian Production Sharing Contract (PSC) dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), sekarang SKK Migas, untuk mengelola wilayah kerja Blok Coastal Plain Pekanbaru (CPP) selama 20 tahun, dan saat itu PI masing-masing 50% yang memberikan angin segar bagi pemasukan daerah pemegang saham.

Kebijakan PI 10% adalah murni melalui mekanisme bisnis, dimana Pemerintah Daerah (Pemda) Riau akan melaksanakan proses bisnis melalui BUMD dengan menyetorkan modal sebagai syarat akan mendapatkan bagian dari hasil bersih migas tersebut,  tentu modal "baru" otomatis juga mengkais APBD yang ada, artinya bukan berarti hak PI 10% bebas beban bagi Pemda Riau  belum lagi adanya potensi resiko-resiko bisnis yang akan ditanggung oleh Pemda Riau. Sangat menyedihkan apabila kita sebagai daerah penghasil belum dapat dikatakan memiliki priviledge (hak istimewa) dalam pengelolaan migas.

Disisi lain pemerintah pusat akan tetap menjadi pihak yang mendapatkan priviledge semisal  signature bonus maupun royalty yang mana itu akan menjadi bagian dari anggaran pendapatan negara (APBN) dan akan diklasifikasikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor penerimaan sumber daya alam, jika demikian maka pengelolaan tersebut adalah pengelolaan migas yang wajar-wajar saja dan tidak ada yang istimewa, daerah akan mendapatkan bagian dengan mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Sebagai daerah penghasil migas seharusnya ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengistimewakan daerah penghasil semisal Pemda langsung menerima royalti tanpa harus menggunakan PI 10% yang bisa jadi malah membebani APBD ataupun beban kerugian dampak bisnis. Maka belumlah dapat kita mengatakan adanya keberpihakan pemerintah pusat yang "istimewa" kepada daerah penghasil migas (Riau). Lalu siapakah yang kembali ke Ibu Pertiwi? dan siapakah rakyat yang menikmati kemanfaatan hasil dari migas tersebut?

Penulis: Rachmad Oky S.SH.,MH

Berita Lainnya

Index