DEMOKRASI DITANGAN TIRANI

DEMOKRASI DITANGAN TIRANI
Prama Widayat, Aktifis Alumni HMI dan Dosen Univ Lancang Kuning Pekanbar, (foto:riaureview.com/hbj/2018)

Oleh: Prama Widayat, Aktifis Alumni HMI dan Dosen Univ Lancang Kuning Pekanbar

PEKANBARU, RIAUREVIEW.COM -Berbicara tentang demokrasi mungkin tidak akan cukup waktu dan tidak akan selesai hingga kapanpun, dimana selalu ada dua kubu didalamnya yaitu pro dan kontra, bagi Indonesia mungkin sebagian kita berpendapat bahwa kita baru memulai berdemokrasi sejak tahun 1998 dimana kata mereka ini disebut dengan awal reformasi.

Gegap gempita pesta parlemen jalanan begitu mempesona hingga sekarang mereka-mereka yang menjadi aktor intelektual dibalik jatuh Soeharto, mungkin akan menjadi kenangan manis dan catatan sejarah, karena beberapa kali mahasiswa dan tokoh nasional mencoba menggulingkan orde baru selalu gagal.

Bahkan yang paling terkenal sekalipun peristiwa malapetaka sebelas januari atau yang lebih dikenal dengan nama peristiwa malari. Namun sejatinya bangsa ini sudah melaksanakan demokrasi sejak awal kemerdekaan, dimana demokrasi merupakan wujud diberikannya kebebasan berpendapat bagi setiap warga negaranya.

Pembeda dari setiap era adalah bentuk implementasi demokrasi itu sendiri dan gaya kepemimpinan masing-masing rezim. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, mereka memiliki karakter masing-masing dan tentunya ada kubu yang pro maupun kontra terhadap keputusan dan kebijakan yang mereka keluarkan.

Gesekan vertikal dan horizontal kerap terjadi antara kedua kubu, mulai dari korban jiwa hingga harta benda mungkin sudah tidak lagi terhitung akibat pertikaian kubu pro dan kontra. Tentunya jika kita berkaca pada masa silam, berharap kejadian buruk dimasa lalu harus ditinggalkan sebagaimana pepatah mengatakan “Kuda tidak akan terjatuh pada lubang yang sama”, tetapi saya lebih suka menyebutnya dengan “ambil baiknya, tinggalkan buruknya”. Justru habit dari setiap pemimpin cenderung mengambil yang buruknya dari rezim sebelumnya dan dijadikan senjata untuk melakukan “persekusi non verbal” dan meng-klaim era beliau lebih baik. Tentu ini bukan suatu yang mencengangkan, ibarat penjual obat yang mengatakan obat dialah yang paling “joss” dengan kasiat menyembuhkan berbagai penyakit seperti penyakit korup, mental pecundang, penjilat, haus jabatan, bagi-bagi proyek dan segala penyakit menular dalam pemerintahan yang sedang berkuasa.

Mungkin kita akan berkata, biarkan saja karena pada akhirnya mereka nanti juga akan akur sesuai dengan kepentingan, karena dalam politik tidak ada teman sejati karena yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Memang benar adanya tetapi setidaknya Kita bisa meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan oleh sebuah rezim yang berkuasa. Era Soekarno dikenal dengan istilah demokrasi terpimpin dengan multi partai, era Soeharto demokrasi diwujudkan dengan penyederhanaan partai menjadi 3 yaitu Golkar, PPP dan PDI tetapi pada kenyataannya hanyalah Golkar yang akan menguasi pemerintah, sedangkan PPP dan PDI hanya kecap dan sambel pelengkap menu.

Era Habibie hanya melanjutkan sisa masa jabatan Soeharto sebelum pemilihan Presiden Ulang tahun 1999 hingga terpilihlah Gusdur (20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001) dengan suara terbanyak diparlemen, mengalahkan Megawati Soekarno Putri. Gus Dur juga lengser oleh kekuatan kebebasan berpendapat melalui hak-hak istimewa yang mereka miliki.

Estafet Pemerintahan berpindah ketangan Megawai Soekarno Putri (23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004), pemilu 2004 adalah untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilu langsung dalam memilih presiden dan kembali diikuti oleh multi partai sehingga terpilih Susilo Bambang Yudhoyono atau yang lebih dikenal dengan nama SBY (20 Oktober 2004 hingga 20 Oktober 2009) sebagai presiden. Disinilah awal kita mulai menilai penerapan demokrasi sesungguhnya, walaupun tidak bisa dikatakan terbaik namun cukup baik karena kebebasan berpendapat lebih luas dan dijamin daripada era sebelumnya, maraknya demonstrasi menentang kebijakan SBY tentang kenaikan BBM selalu ditentang oleh partai Oposisi seperti PDIP sebagai partai yang paling lantang, melalui para tokohnya Megawati Soekarno Putri, Rieke Diah Pitaloka, Maruar Sirait, Ribka Tjiptaning dan Puan Maharani, tetapi tidak pernah sedikitpun adanya pengekakangan hak menyampaikan pendapat pada era SBY.

Estafet Kepemimpinan negara berlanjut ketangan Joko Widodo yang diusung partai PDIP dan kawan-kawan, Jokowi mencatat rekor sebagai presiden tercepat menaikan harga BBM yaitu kurang dari enam bulan sejak dilantik dan disumpah menjadi presiden, sikap ini sangatlah kontras ketika mereka menjadi Opisisi. Tidak satupun aktifis PDIP bersuara dengan kenaikan BBM. Dari sinilah mulai muncul kekecewaan publik, hingga menggurita menjadi tagar 2019 ganti presiden karena banyak janji yang tidak dipenuhi, hingga kriminalisasi ulama.

Persekusi Tokoh dan Ulama

Tagar 2019 ganti presiden menjadi magnet kuat yang menarik siapapun yang merasa dikecewakan oleh janji manis jokowi diawal kampanye yang tidak sesuai dengan harapan, bukti janji kampanye ini bisa dilihat dalam rekam jejak digital karena era digitalisasi ini semua data tersedia. Hingga mereka yang terpanggil hatinya karena agama mereka dizolimi pada rezim ini, melalui tebang pilih penerapan hukum terhadap pelaku. Dari sinilah muncul demonstrasi diberbagai daerah namun tidak begitu terdengar karena media sudah dikuasai oleh rezim penguasa, beberapa tokoh nasional juga ikut bersuara lantang hingga muncul tuduhan makar kepada Amien Rais, Kivlan Zein, Rachmawati Soekarno Putri dan kawan-kawan.

Penangkapan Ustadz Alfian Tanjung ketika beliau berbicara lantang tentang kebangkitan PKI dan secara terang menderang menyebutkan nama-nama tokoh PKI tersebut, maka tidak lama berselang beliau ditangkap. Sementara seorang Rika Tjiptaning kader PDIP yang menulis buku “Aku Bangga Menjadi Anak PKI” dan buku “Anak PKI Masuk Parlemen” tidak tersentuh kasus hukum sama sekali. Kemudian seorang peserta aksi pembawa bendera tauhid dicap sebagai pendukung HTI (ormas yang dibubarkan sepihak oleh negara melalui kementrian Hukum dan HAM), beliau ditangkap walaupun setelah itu dibebaskan dengan desakan berbagai tokoh dan juga umat islam. Pembunuhan Ulama yang konon katanya dilakukan oleh orang gila. Kalau dilihat kasus per kasus maka seakan-akan kita kembali ke era orde lama dan orde baru, dimana terjadi penangkapan dan pembunuhan ulama dan santri, penangkapan tokoh-tokoh nasional yan berseberangan dengan rezim.

Tentunya yang paling hangat adalah persekusi Neno Warisman dengan tagar 2019 ganti presiden, dua kali beliau mengalami persekusi : Batam dan Pekanbaru, lebih menyedihkan lagi itu terjadi didepan aparat dan objek vital bandara yang seharusnya tidak boleh terjadi tindakan anarkis dan kekerasan fisik. Sementara tagar 2019 tetap jokowi terlaksana dengan lancar tanpa ada intimidasi dari pihak dan ormas manapun, sedangkan tagar 2019 Ganti Presiden dibeberapa tempat senantiasa mendapatkan persekusi.

Wujud Tirani dalam demokrasi
Kekebasan berpendapat dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 dimana setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya dimuka umum, tetapi pada hari ini bisa kita saksikan dimedia Elektronik yang masih independen dan media sosial begitu masif tersebar, mendekati tahun pilpres tahun 2019 sepertinya rezim mengalami sikap paranoid terhadap gerakan 2019 ganti presiden, jikalau rezim tidak panik maka tidak akan terjadi pengekangan hak menyampaikan pendapat ataupun memberikan tuduhan makar, intoleran dan radikal terhadap kubu sebelah. Walaupun rezim berkuasa tidak mengakui itu pihak mereka yang melakukan, tetapi publik bisa menilai dan tidak bisa dibohongi karena mereka sudah cerdas.

Kita lihat pilpres 2009 dan 2014 yang berjalan kondusif dan tidak ada intimidasi dari pihak penguasa, masing-masing pihak silahkan berkolaborasi dengan tim masing-masing. Jual program yang menjadi unggulan masing -masing calon, tetapi jangan alergi terhadap kritikan karena itu sudah bagian dari negara demokrasi, jika tidak tahan akan kritikan maka jangan ikut dalam politik bernegara, silahkan duduk manis dirumah sambil membaca koran, meminum secangkir kopi atau teh dan bermain bersama cucu.

Daripada mengaku merakyat dengan cover sederhana tetapi pada wujud aslinya bersikap tirani, bukankah negara ini dibangun dari beragam suku, etnis, bahasa dan agama dengan dibungkus oleh Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga perbedaan adalah hal biasa, termasuk berbeda pilihan politik dalam memilih siapa calon yang akan dipilih.(hbj)

Berita Lainnya

Index