Jokowi Tolak Tanda Tangan UU MD3, Gimana Ceritanya.?

Jokowi Tolak Tanda Tangan UU MD3, Gimana Ceritanya.?

JAKARTA, RIAUREVIEW.COM - Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) tetap sah meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menandatangani undang-undang tersebut. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, sah atau tidaknya sebuah undang-undang sudah diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Itu tentunya kewenangan Presiden (yang tidak ingin menandatangani UU—Red), tapi memang aturannya dalam jangka waktu tertentu apabila Presiden tidak menandatangani dianggap tidak menolak sehingga tetap masih bisa dilaksanakan,” kata Agus di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/2).

Dalam Pasal 73 ayat 2 UU 12/2011 disebutkan, “Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”

Agus berpandangan, sikap presiden yang menolak menandatangani UU MD3 disebabkan melihat perkembangan terkini, misalnya desakan agar UU MD3 diujimaterikan, seperti mengenai usulan penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD.

Menurut Agus, pengesahan UU MD3 di Rapat Paripurna DPR dilakukan berdasarkan hal yang telah disepakati di semua prosesnya sehingga disahkan. “Semuanya kami lihat bagaimana proses ini berlangsung dan tentu kita melaksanakan apa yang telah disepakati dan bisa laksanakan sehingga kita lihat prosesnya saja,” ujarnya.

Selain itu, kata Agus, DPR mempersilakan masyarakat mengajukan uji materi atas hasil revisi UU MD3 yang telah diundangkan, terutama pasal-pasal baru yang dianggap membuat DPR menjadi lembaga antikritik dan superbody. Adanya gugatan uji materi tersebut tidak berarti menandakan pembahasan RUU MD3 terburu-buru, tetapi hal itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembuatan UU.

“Saya mendengar sudah ada ataupun baru berencana, tapi sudah ada yang mengajukan uji materi. Apabila pembuatan UU ada masyarakat yang kurang sepaham, maka dapat melaksanakan uji materi karena merupakan satu proses dalam pembuatan undang-undang,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, Presiden Joko Widodo tidak akan menandatangani UU MD3 yang baru disahkan oleh DPR. Menurut Yasonna, langkah tidak menandatangani UU MD3 tersebut merupakan salah satu bentuk protes eksekutif terhadap sejumlah pasal dalam UU MD3 yang menuai polemik di masyarakat.

Kendati sudah ada di meja Presiden, Jokowi belum membaca secara terperinci undang-undang yang menjadi polemik di masyarakat tersebut. Jokowi mengaku memahami keresahan-keresahan yang timbul di tengah masyarakat. Apalagi, banyak masyarakat menilai bahwa UU itu terlalu mencampuradukkan antara hukum dan etika. Bahkan, ada yang menyatakan UU tersebut sangat politis karena semua dicampur-campur.

Jokowi menilai keresahan itu adalah hal wajar karena masyarakat juga telah aktif mempelajari isi dari UU MD3. Masyarakat pun berharap adanya peraturan baru seperti UU tersebut tidak menurunkan kualitas demokrasi yang ada di Indonesia.

“Tetapi, sampai saat ini memang sudah di meja saya dan belum saya tanda tangani. Sampai saat ini belum saya tanda tangani karena saya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu ditandatangani atau tidak,” ujarnya seusai menghadiri rakernas Majelis Dzikir Hubbul Wathon, Rabu (21/2).

Jokowi melanjutkan, meski UU MD3 tidak dia tanda tangani, peraturan tersebut tetap saja akan tetap berjalan. Presiden pun belum bisa memastikan apakah akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU MD3.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun mempersilakan jika memang ada masyarakat yang ingin menyampaikan keberatannya dengan menempuh jalur hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya kira hal-hal tidak akan sampai ke sana (perppu). Yang tidak setuju silakan berbondong-bondong ke MK untuk di-judicial review,” kata Presiden.

Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Priyo Budi Santoso menilai UU MD3 telah mengancam demokrasi modern yang ada di Indonesia. Karena itu, perlu adanya penjelasan terkait substansi dari UU tersebut.

“Saya yakin ini akan terus menjadi hantu bagi sebagian kalangan aktivis dan mengancam demokrasi modern,” kata Priyo yang juga merupakan Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Golkar di kantor ICMI Pusat, Jakarta, Rabu.

Menurut Priyo, terdapat tiga pasal kontroversial dalam UU MD3. Di antaranya Pasal 122 huruf (k) yang mengatur penghinaan terhadap anggota DPR. Kedua, pasal 73 yang menyatakan polisi diwajibkan membantu melakukan pemanggilan paksa bagi pihak yang diperiksa oleh DPR. Ketiga, pasal 245 yang mengatur pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelum dilimpahkan ke presiden untuk memberikan izin.

“Pasal 245 ini yang sering dijadikan kritik yang akan diujicobakan dan diujimaterikan di MK. Itu pemeriksaan anggota DPR kira-kira harus melalui MKD, MKD menyurati presiden, presiden kemudian mengumumkan apa tindakan hukum, baru bergerak. Ini prosesnya lama. Persamaan haknya seperti apa?” kata Priyo.

Jika tidak dijelaskan substansinya secara jelas, kata Priyo, ketiga pasal tersebut bisa membuat DPR dituduh sebagai lembaga yang memotori sebuah gerakan yang justru akan membawa Indonesia kembali ke masa sebelum adanya demokrasi. Oleh karena itu, DPR harus menjelaskan kepada publik. “Jika tidak diterima publik maka undang-undang tersebut harus direvisi,” kata Priyo. (silvy dian setiawan/antara, Pengolah: eh ismail).

Sumber: REPUBLIKA.co.id

Berita Lainnya

Index